Kamis, 08 Oktober 2009

Kisah Gempa Padang

Kamis, 08 Oktober 2009
VIVAnews - Sungguh seperti mukjizat. Suci Refika Walaujaro, seorang dosen Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Prayoga, Padang, bisa lolos dari maut.

Selama 48 jam ia berjuang untuk hidup. Dalam kondisi haus, lapar dan kesakitan, Suci dihimpit dua jasad mahasiswa yang sudah lebam dan membengkak. Dia terlindung oleh satu mayat yang menindih tubuhnya. Tak pelak, bau menyengat terus menerus menusuk hidungnya.

Suci terjebak dalam reruntuhan gedung empat lantai tempatnya mengajar yang berlokasi di Jl. Veteran, Kota Padang. Ketika itu, ibu berusia 25 tahun sedang mengajar Bahasa Inggris belasan mahasiwa di lantai tiga. Mendadak lindu besar mengguncang, mereka sontak berhamburan menuju tangga utama. Tak disangka, tangga rontok tak kuat digoyang gempa. Puing-puing bangunan berjatuhan menimpa mereka. Kaki Suci pun terjepit reruntuhan balok beton besar.

Gempa dengan skala 7,6 skala Richter mengguncang Padang, Sumatera Barat pada Rabu, 30 September 2009, pukul 17.16 WIB. Gempa dengan kekuatan dahsyat itu terjadi pada kedalaman 71 kilometer. Tepatnya, di lokasi 0.84 Lintang Selatan dan 99.65 Bujur Timur. Jaraknya, sekitar 57 kilometer arah Barat Daya Pariaman, Sumatera Barat.

Kondisi gedung yang hancur berantakan membuat tim SAR bersama TNI, Brimob kesulitan menyelamatkan korban. Berpacu dengan waktu, mereka harus merayap hati-hati menelusuri lorong-lorong reruntuhan gedung yang rawan ambruk. Sambil membawa peralatan, mereka bergerak mencari posisi yang tepat.

"Saat masuk lorong, Suci berteriak pelan minta tolong segera diangkat karena sudah capek," kata Junaedi, anggota tim SAR dari Dinas Pemadam Kebakaran Padang, Sumatera Barat kepada VIVAnews, Jumat 2 Oktober 2009.

Persoalannya, reruntuhan balok sulit diangkat. Bila tidak hati-hati bangunan lain akan hancur dan menimpa Suci bersama orang yang menolong. Petugas harus mengebor, menghancurkan satu per satu balok secara perlahan melalui lorong-lorong kampus.

Posisi Suci kemudian diraih, lebih dari 48 jam setelah gempa mengguncang. Petugas kemudian memberikan susu dan roti, serta oksigen untuk bantuan pernafasan. Agar tetap semangat hidup, tim SAR juga menghubungkan Suci dengan ayahnya, Masril RA, yang menanti di luar reruntuhan dengan telepon genggam. Tim kemudian menghancurkan balok besar yang menindih Suci. "Tadi sempat telepon pukul 14.00, dia bilang sehat dan kuat. Saya minta Suci sabar dan tabah," kata Masril.

Suami Suci, Erwinsyah bersyukur istrinya masih hidup meski ia masih cemas karena petugas belum berhasil mengevakuasi istrinya.

Pada Sabtu, 2 Oktober 2009, pukul 17.15 WIB, tepat dua hari setelah gempa mengguncang, Suci berhasil dievakuasi. Saat digotong, ibu yang memiliki putri berusia 15 bulan itu masih bisa tersenyum. Ia terlihat baik, namun merintih kesakitan. Bagian tumit kakinya patah dan terluka.

Suci kemudian diboyong ke rumah sakit M Djamil. Tak henti-hentinya, ia mengucap syukur, “Alhamdulillah.” Teriakan gembira, puji syukur dan tepuk tangan berkumandang dari keluarga dan ratusan warga di sekitar reruntuhan. Keluarga kemudian memeluk para anggota tim SAR. Tangis dan haru terpancar dari wajah mereka.

Suci adalah korban kelima yang berhasil diselamatkan tim SAR dari kampus STIB Prayoga, Padang. Sebelumnya, tim SAR berhasil menyelamatkan empat korban hidup lainnya, yakni Ratna Kurniasari, Stephani Radisya, Syahbana Agus dan Rudi. Belasan korban lain diperkirakan tewas dalam reruntuhan gedung.

Masih di kota Padang, kisah pilu juga menyeruak di balik reruntuhan gedung tiga lantai Bimbingan Belajar Gama di Jl. Proklamasi. Gempa hebat membuat sekitar 120 anak SD dan SMP yang tengah mengikuti bimbingan les kocar kacir berebut keluar gedung. Sayang, hanya separuh yang berhasil keluar. Sisanya terperangkap di balik reruntuhan gedung. "Mereka terjebak di tangga dan saling berjatuhan hingga sulit bergerak," kata salah satu petugas penyelamat.

Beberapa saat setelah gempa mengguncang pada Rabu sore, orang tua berdatangan ke gedung. Mereka bingung melihat gedung sudah luluh lantak berubah menjadi gundukan material bangunan. Namun, mereka kemudian berinisiatif menggali. Saat Maghrib tiba, tim bantuan berdatangan. Namun, upaya penggalian terhambat oleh hujan deras dan peralatan yang terbatas.

Nola, salah satu orang tua siswa yang bernama Angga mengaku pada Rabu malam, dia mendengar sejumlah anak-anak berteriak kelaparan, meminta makan dan merintih kesakitan. "Saya berteriak memanggil anak saya dan meminta petugas memberikan roti untuk mereka," kata Nola.

Menurut Nola, saat petugas memasuki gedung untuk memberi makanan, sejumlah siswa terlihat saling berpelukan, namun sudah tidak bernyawa. "Itu siswa yang bisa dijangkau, masih banyak lagi yang tidak bisa," kata Nola.

Seorang petugas juga menyatakan pada Rabu malam, sempat mendengar rintihan minta tolong, namun pada hari berikutnya suara-suara merintih tak lagi terdengar. Yang tercium justru bau mayat yang menyengat.

Dari total 60 orang yang tertimbun, hingga Jumat siang, 36 orang berhasil dikeluarkan dari gedung. Sebanyak 15 orang masih hidup dengan kondisi luka berat, sedangkan 21 orang lainnya sudah tak bernyawa.

Dua alat berat dan ratusan personel gabungan tim SAR, TNI dan Brimob terus berupaya mencari korban. Proses evakuasi terhalang oleh reruntuhan besi beton. Beberapa bagian besi beton sempat dipotong dengan las. Di luar reruntuhan, ribuan orang terus menanti dengan harap-harap cemas.

Selain kedua lokasi, sejumlah titik evakuasi terus berlangsung. Misalnya, di Hotel Ambacang, hotel tertua peninggalan Belanda di kota Padang. Di hotel ini, diperkirakan ratusan orang tertimbun. Menurut Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, sebanyak delapan korban selamat setelah terkubur reruntuhan bangunan selama lebih dari 48 jam di Hotel Ambacang.

Semula, pada pukul 04.00 WIB, Sabtu 3 Oktober 2009, petugas memutuskan akan menghentikan proses evakuasi karena konstruksi gedung enam lantai yang miring rentan ambruk. Dari balik reruntuhan itu kini tercium bau busuk yang menyengat.

Namun, setelah berhembus kabar masih ada delapan korban hidup di balik reruntuhan, tim SAR dalam dan luar negeri berjibaku menggeber evakuasi. Para korban diduga berada di salah satu lubang yang ada di lantai enam.

Situasi tragis juga tersiar dari Kabupaten Padang Pariaman. Kerusakan di wilayah paling dekat dengan pusat gempa ini jauh lebih parah. Jalan-jalan retak dan ambles, rumah-rumah ambruk, dan perbukitan longsor menimbun rumah warga.

Di Pariaman, tim Sarkorlak Penanggulangan Bencana mendapat laporan sebuah desa terisolir yaitu Desa Tandikek, Koto Mambang. Diperkirakan sekitar seratus rumah tertimbun tanah longsor akibat gempa di kawasan itu. "Sabtu, tim evakuasi diterjunkan ke sana," kata Kepala Satkorlak Penanggulangan Bencana Sumatera Barat, Ade Edward, Jumat 2 Oktober 2009.

Akibat gempa dahsyat ini, enam hotel, puluhan gedung bertingkat, ratusan rumah toko, dan ribuan rumah porak poranda. Data Satkorlak Penanggulangan Bencana Sumatera Barat, hingga pukul 18.00 Jumat, 2 Oktober 2009, korban jiwa meninggal diketahui mencapai 451 orang, luka berat 240 orang, luka ringan 2.530 orang, dan diduga korban yang masih tertimbun reruntuhan masih 1.000 orang lebih.


Penulis: Heri Susanto, Umi Kalsum, Amril, Eri Naldi (Padang)

0 komentar:

Posting Komentar